
DEFORESTASI kembali menghantui Indonesia. Angkanya melonjak drastis. Tahun 2024, lebih dari 175 ribu hektare hutan lenyap—angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Di balik itu, pembalakan liar menjadi biang utama. Ancaman ini bukan hanya urusan hilangnya tutupan pohon. Ia berdampak pada ekosistem, keanekaragaman hayati, bahkan reputasi Indonesia di pasar global.
Namun, sebuah terobosan mulai menyalakan harapan, forensik DNA kayu.
Bukti Ilmiah, Bukan Sekadar Dokumen
Teknologi ini memungkinkan pelacakan asal usul kayu secara ilmiah. Metodenya menyerupai investigasi forensik pada manusia—mengambil fragmen DNA dari kulit atau batang kayu, lalu mencocokkannya dengan basis data genetik. Tak peduli apakah kayu masih basah, telah dipotong, atau diolah menjadi plywood, asal DNA-nya masih bisa dibaca, identitasnya bisa diketahui.
Baca juga: RUU Kehutanan, Menjaga Hutan atau Menguntungkan Korporasi?
“Setiap spesies punya sidik jari genetik unik. Bahkan dari lokasi yang berbeda, satu jenis pohon bisa punya variasi DNA yang khas,” jelas Iskandar Zulkarnaen Siregar, ahli forensik kayu dari IPB, yang terlibat dalam proyek Wood Identification (Wood ID) bersama WRI Indonesia dan Kementerian Kehutanan.
Potensi Baru dalam Penegakan Hukum
Teknologi ini bukan sekadar inovasi, tapi game changer. Selama ini, bukti dalam perkara pembalakan liar hanya mengandalkan dokumen legalitas, yang mudah dipalsukan. Padahal, untuk menjerat pelaku, diperlukan bukti yang kuat dan sah secara hukum. Di sinilah DNA kayu memainkan perannya.

Hasil analisis DNA dapat digunakan sebagai keterangan ahli di pengadilan, sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, seperti ditegaskan Jaksa Asnath Anytha dari Kejaksaan Agung, semua harus melalui prosedur hukum yang benar. Bukti ilmiah tak bisa berdiri sendiri tanpa rantai pembuktian yang lengkap, mulai dari penyitaan hingga pengolahan di laboratorium.
Baca juga: Plasma 20 Persen, Warga Tak Lagi Jadi Penonton di Tanah Sendiri
Indonesia telah mulai membangun basis data DNA pohon dari berbagai wilayah—Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Variasi genetik ini menjadi kunci untuk mengetahui dari mana kayu berasal. Misalnya, meranti dari Kalimantan memiliki profil DNA berbeda dengan yang tumbuh di Sumatera.
Sayangnya, tantangan masih besar. Laboratorium forensik hayati yang terakreditasi belum banyak. Sumber daya manusia juga terbatas. Belum lagi kebutuhan biaya, waktu, dan regulasi teknis yang belum tersedia secara menyeluruh.
Kolaborasi Jadi Kunci
Meski demikian, potensi teknologi ini tidak bisa diabaikan. Ia tak hanya mendukung penegakan hukum, tapi juga transparansi industri kehutanan. Bila keabsahan kayu bisa dibuktikan secara ilmiah, nilai ekspor meningkat, dan pasar global lebih percaya.
Baca juga: Kayu yang Tak Sekadar Tradisional, Kini Tahan Gempa dan Api
“DNA itu ibarat mata uang baru. Tanpa database yang kuat, kita tidak bisa memastikan asal-usul kayu,” kata Iskandar. Ia mendorong sinergi antara lembaga riset, pemerintah, penegak hukum, serta dukungan internasional untuk mempercepat pengembangan sistem ini.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal teknologi. Tapi soal komitmen menyelamatkan hutan dan masa depan. Karena kayu bukan sekadar komoditas—ia adalah warisan. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.