
PEMERINTAH menyiapkan 17 lokasi pusat Karbon Biru. Targetnya, ekosistem laut seperti mangrove dan lamun jadi senjata utama menyerap emisi karbon. Bahkan, Bangka Belitung diproyeksikan sebagai carbon free island.
Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kartika Listriana, menjelaskan pengembangan awal akan difokuskan di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta kawasan strategis nasional seperti Jabodetabek dan Gerbangkertosusila.
“Kami akan melibatkan masyarakat dalam pengembangan karbon biru. Mudah-mudahan kontribusi ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan juga pertumbuhan ekonomi. Jika berjalan dalam skala besar, bisa membantu presiden mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen,” ujar Kartika, Kamis (11/9/2025).
Lamun, Penyerap Karbon Super
Lamun atau seagrass sering diremehkan, padahal perannya luar biasa. Riset menunjukkan lamun mampu menyerap hingga 82 ribu ton CO₂ per kilometer persegi. Angka itu bikin lamun jauh lebih efisien dibandingkan banyak solusi buatan manusia.
Baca juga: Ekonomi Biru, Menyelamatkan Laut di Tengah Minimnya Investasi
Potensi besar ini membuat lamun dilirik untuk masuk pasar karbon global, baik pasar sukarela maupun kepatuhan. Namun, regulasi Indonesia belum sepenuhnya siap. Tanpa standar metodologi penghitungan karbon yang diakui internasional, peluang emas ini bisa lewat begitu saja.
Pemerintah menekankan karbon biru bisa mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi ada catatan penting, masyarakat pesisir jangan hanya jadi penonton.
Nelayan dan komunitas lokal adalah pihak yang paling tahu ekosistem laut. Jika tidak dilibatkan sejak awal, program ini bisa berakhir sebagai proyek indah di atas kertas tanpa dampak nyata di lapangan.
Antara Ambisi dan Realitas
Karbon biru adalah bagian dari agenda Ekonomi Biru yang punya lima pilar, yakni konservasi laut, penangkapan ikan terukur, budi daya berkelanjutan, pengawasan pesisir, dan pembersihan sampah plastik laut.
Baca juga: Air Laut Nggak Pernah Habis, Kok Bisa?
Ambisi ini terdengar kuat, tapi tantangan di lapangan tidak sederhana. Tumpang tindih tata ruang, konflik kepentingan, dan kepentingan ekonomi jangka pendek bisa menghambat implementasi.
Pertanyaan yang tersisa, karbon biru akan jadi fondasi nyata keberlanjutan, atau sekadar jargon baru yang manis di telinga?
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.