
LIFT kaca setinggi 182 meter di tebing Pantai Kelingking, Nusa Penida, Bali, sedang jadi sorotan. Proyek bernilai Rp 200 miliar itu diklaim akan memudahkan wisatawan turun ke pantai yang terkenal curam. Tapi banyak yang menilai, kemudahan ini dibayar dengan mahal, yakni hilangnya keaslian alam Bali.
Lift, Akses, dan Polemik
Satpol PP Provinsi Bali menghentikan sementara pembangunan lift ini setelah sidak DPRD menemukan sejumlah pelanggaran.
Meski izin OSS sudah ada, banyak aspek teknis yang belum lengkap. Termasuk soal material proyek yang disebut tak sesuai rekomendasi Kementerian Ketenagakerjaan.
Baca juga: Alih Fungsi Lahan, Bali Bayar Mahal dengan Banjir
“Tanpa lift pun, Pantai Kelingking tetap menarik,” kata Kepala Satpol PP Bali, I Dewa Nyoman Dharmadi.
Pernyataannya langsung jadi simbol kritik, seberapa jauh Bali siap mengorbankan alam demi akses wisata?
Dari Izin ke Estetika
Bupati Klungkung, I Made Satria, mengaku izin proyek sudah dikeluarkan sejak 2023, sebelum ia menjabat.
Investor pun membela diri: semua pembayaran dan retribusi telah diselesaikan. Bahkan, mereka menyiapkan kawasan vila dan restoran senilai total Rp 200 miliar.

Namun, publik justru melihat masalah lain. Bukan hanya soal izin, tapi soal etika. Struktur besi dan kaca di tebing yang selama ini suci dan alami dianggap mencederai estetika dan filosofi ruang Bali.
Alam vs Ambisi
Kementerian Pariwisata menegaskan akan mengawal proyek ini agar sesuai regulasi dan prinsip keberlanjutan. Tapi publik skeptis.
Baca juga: Bali di Masa Depan, Jadi Wisata Berkelanjutan atau Tumbang karena Overtourism?
Apalagi, jumlah kunjungan ke Nusa Penida terus naik. Sebanyak 714 ribu pada 2023 menjadi 1,1 juta pada 2024. Di tengah euforia wisata, siapa yang akan menjaga keseimbangan alam?
Lift kaca ini mungkin akan membuat Pantai Kelingking lebih mudah dijangkau. Tapi jika lanskapnya rusak, apa yang sebenarnya masih tersisa untuk dikunjungi? ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.