
PERALIHAN dari model ekonomi linear, yang dikenal dengan prinsip “ambil, buat, buang”, menuju ekonomi sirkular yang menekankan penggunaan kembali, perbaikan, dan daur ulang produk, menjadi salah satu topik hangat dalam diskusi tentang keberlanjutan.
Konsep ekonomi sirkular berusaha mengurangi limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya, yang tidak hanya berdampak positif pada lingkungan tetapi juga menawarkan potensi ekonomi yang signifikan.
Namun, implementasi ekonomi sirkular di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi infrastruktur, regulasi, hingga perilaku konsumen.
Tantangan Infrastruktur
Salah satu hambatan terbesar dalam implementasi ekonomi sirkular di Indonesia adalah kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendukung sistem daur ulang dan pengelolaan limbah.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton limbah setiap tahun, dengan tingkat daur ulang hanya sekitar 10%.
Rendahnya tingkat daur ulang ini disebabkan oleh minimnya fasilitas pengelolaan limbah yang efisien serta kurangnya sistem pengumpulan dan pemilahan sampah yang efektif.
Peran Regulasi
Regulasi dan kebijakan pemerintah memainkan peran penting dalam mendorong penerapan ekonomi sirkular. Di Indonesia, beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan. Seperti pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di beberapa kota besar dan insentif bagi perusahaan yang menerapkan praktik ramah lingkungan.
Namun, masih dibutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif dan terpadu untuk benar-benar mengakselerasi transisi ini. Menurut laporan dari The World Bank, regulasi yang lebih ketat dan insentif ekonomi yang lebih menarik dapat meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam ekonomi sirkular.
Perubahan Perilaku Konsumen
Selain tantangan infrastruktur dan regulasi, perubahan perilaku konsumen juga menjadi kunci sukses ekonomi sirkular.
Masyarakat perlu didorong untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Seperti mengurangi konsumsi produk sekali pakai, memilih produk dengan kemasan yang dapat didaur ulang, dan lebih sadar akan pentingnya daur ulang.
Kampanye edukasi dan peningkatan kesadaran menjadi langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah.
Menurut survei dari Nielsen, meskipun 72% konsumen Indonesia menyatakan peduli terhadap isu lingkungan, hanya 29% yang secara aktif melakukan tindakan nyata, seperti memilah sampah untuk didaur ulang.

Potensi Ekonomi
Di balik tantangan-tantangan tersebut, ekonomi sirkular juga menawarkan peluang ekonomi yang besar. Studi dari Ellen MacArthur Foundation menyebutkan bahwa penerapan ekonomi sirkular secara global dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar $4,5 triliun hingga tahun 2030.
Baca juga: Ekonomi Hijau, Jalan Indonesia Menuju Visi Emas 2045
Di Indonesia, sektor-sektor seperti agrikultur, manufaktur, dan tekstil memiliki potensi besar untuk dioptimalkan melalui prinsip-prinsip ekonomi sirkular. Misalnya, penggunaan limbah pertanian untuk produksi energi terbarukan. Atau bahan baku industri, serta daur ulang tekstil untuk mengurangi limbah industri fashion.
Peluang Ekonomi Baru
Implementasi ekonomi sirkular di Indonesia memerlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, dengan infrastruktur yang memadai, regulasi yang mendukung, dan perubahan perilaku konsumen, ekonomi sirkular dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Selain mengurangi dampak lingkungan, transisi ini juga dapat menciptakan peluang ekonomi baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, untuk memastikan ekonomi sirkular bukan sekadar konsep, tetapi menjadi realitas yang membawa manfaat nyata, semua pihak harus bekerja sama dan berkomitmen untuk melakukan perubahan yang diperlukan. ***