
LAPORAN terbaru dari Oxford Economics mengungkapkan dampak signifikan kebijakan emisi karbon nol pada biaya produksi pangan di Asia Tenggara. Pada 2050, biaya produksi pangan di kawasan ini diproyeksikan naik antara 30,8 hingga 58,9 persen. Proyeksi ini mengingatkan bahwa langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon dapat memengaruhi berbagai sektor, termasuk produksi pangan.
Laporan tersebut mencatat, untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2050, negara-negara Asia Tenggara perlu memberlakukan kebijakan ketat, seperti pajak karbon dan regulasi penggunaan bahan bakar fosil. Langkah ini akan meningkatkan biaya energi dan tenaga kerja, dua faktor penting dalam produksi pangan.
Meskipun tujuan jangka panjang ini mendukung keberlanjutan, transisi energi ini dapat menyebabkan lonjakan biaya pangan yang signifikan.
Pengaruh terhadap Biaya Produksi Pangan
Produksi pangan di Asia Tenggara sangat bergantung pada bahan bakar fosil, yang menjadi salah satu pendorong utama biaya energi. Oleh karena itu, kebijakan untuk mengurangi emisi karbon berisiko meningkatkan biaya energi. Hal ini pada gilirannya akan memengaruhi harga bahan pangan, karena biaya transportasi, penyimpanan rantai dingin, dan distribusi juga akan melonjak.
Baca juga: Pangan Berkelanjutan Selamatkan 300 Juta Jiwa dari Malnutrisi
Laporan yang dilansir Business Times tersebut memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang paling terpengaruh, dengan biaya pangan yang bisa meningkat hingga 58,9 persen pada 2050. Negara-negara lain seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina juga akan merasakan dampaknya, meskipun dengan angka yang sedikit lebih rendah.
Indonesia dan Risiko Perubahan Iklim
Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, diperkirakan akan merasakan dampak transisi karbon paling signifikan. Selain masalah kebijakan emisi, negara ini juga menghadapi tantangan terkait perubahan iklim.
Cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi di Indonesia telah mendorong peningkatan harga pangan. Secara langsung, suhu rata-rata yang meningkat 1 persen dapat menyebabkan harga pangan naik hingga 2 persen.
Baca juga: Menuju Keberlanjutan, Indonesia Percepat Kebijakan Emisi Karbon
Di sisi lain, Vietnam, Malaysia, dan Thailand juga mencatatkan angka yang signifikan, meskipun tidak sebesar Indonesia. Dengan cuaca ekstrem dan kerentanan sistem pertanian yang tinggi, negara-negara ini harus mempersiapkan langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kestabilan harga pangan.

Kerentanannya Terhadap Cuaca Ekstrem
Beberapa negara, seperti Filipina, dinilai lebih rentan terhadap perubahan suhu dan cuaca ekstrem. Dalam laporan tersebut, Filipina terbukti menjadi negara yang paling rentan terhadap kenaikan suhu global, yang memperburuk kerentanannya terhadap bencana alam seperti topan. Selain itu, infrastruktur yang lebih lemah di negara ini turut memperburuk stabilisasi harga pangan, menjadikannya lebih sensitif terhadap dampak iklim.
Baca juga: Bursa Karbon Indonesia, Jalan Menuju Masa Depan Hijau
Kerentanan ini juga tercermin dalam proyeksi kenaikan harga pangan yang dapat terjadi akibat perubahan suhu. Filipina, misalnya, diperkirakan akan merasakan peningkatan harga pangan sebesar 3 persen akibat suhu rata-rata yang naik 1 persen. Kondisi serupa berlaku untuk negara lain, meski dampaknya lebih kecil.
Mendorong Investasi untuk Solusi Berkelanjutan
Untuk mengatasi tantangan ini, investasi asing langsung (FDI) menjadi kunci utama. Negara-negara Asia Tenggara perlu mengoptimalkan kemitraan dengan investor asing untuk mendorong transformasi sistem produksi pangan mereka. Teknologi dan inovasi dalam sektor pertanian dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan di tengah ancaman perubahan iklim dan transisi menuju ekonomi nol emisi karbon.
Dengan investasi yang tepat, sektor pangan dapat mengadopsi praktik yang lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan stabilitas harga pangan. Teknologi pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan akan menjadi bagian integral dari upaya untuk mencapai keberlanjutan di kawasan ini.
Baca juga: Food Sustainability: Rahasia Masa Depan Sehat dan Berkelanjutan
Proyeksi dari Oxford Economics memberikan gambaran yang jelas mengenai tantangan besar yang dihadapi Asia Tenggara dalam mencapai tujuan nol emisi karbon pada 2050. Biaya produksi pangan yang tinggi, dampak perubahan iklim, dan ketergantungan pada energi fosil menjadi hambatan besar yang perlu diatasi.
Dengan langkah-langkah kebijakan yang tepat, termasuk investasi dalam teknologi berkelanjutan, kawasan ini dapat menghadapi masa depan yang lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan ketahanan pangan. ***
Artikel ini hasil kolaborasi antara Mulamula.id dan SustainReview.id, untuk menghadirkan wawasan mendalam seputar isu keberlanjutan dan transformasi hijau.