
PANTAI Kelingking di Nusa Penida lagi jadi pusat drama besar. Proyek lift kaca supermahal yang dibangun di tebing ikonik itu resmi dihentikan. Gubernur Bali Wayan Koster memerintahkan pembongkaran total karena proyek dinilai melanggar tata ruang, aturan lingkungan, dan mengubah keaslian destinasi wisata.
Keputusan diumumkan Minggu (23/11) di Denpasar. Pemerintah memberi waktu enam bulan untuk membongkar semua bangunan yang sudah berdiri, dan tiga bulan tambahan untuk memulihkan ruang. Kalau investor ngeyel, pemerintah siap ambil alih pembongkaran lewat mekanisme lelang.
“Kami lebih baik menjaga masa depan Nusa Penida daripada membela proyek yang merusak,” tegas Koster.
Merusak Orisinalitas Kelingking
Proyek lift kaca milik PT Indonesia Kaishi Tourism Property Investment Development Group dibangun di tiga zona berbeda. Di bibir tebing, lereng jurang, dan kawasan pesisir. Di sana berdiri:
- Loket tiket seluas 563,91 m²
- Jembatan layang sepanjang 42 meter
- Bangunan lift kaca berisi restoran seluas 846 m², tinggi 180 meter
Total investasi mencapai Rp 200 miliar, termasuk Rp 60 miliar hanya untuk lift.
Baca juga: Lift Kaca di Kelingking, Antara Akses Wisata dan Luka Alam Bali
Tapi masalahnya, pembangunan dinilai melanggar lima aturan besar, termasuk aturan tata ruang Provinsi Bali, perizinan berbasis risiko (PP No. 5/2021), dan regulasi zona konservasi pesisir. Pemerintah menyebut proyek ini mengubah karakter dan orisinalitas Kelingking yang selama ini terkenal ekstrem dan alami.
Perdebatan: Pariwisata vs Keaslian
Bagi wisatawan, lift kaca mungkin terdengar keren. Tinggal turun, tanpa perlu melewati jalur curam yang bikin napas ngos-ngosan. Tapi untuk banyak warga Bali, kemudahan instan justru mengancam identitas.

Koster bahkan menyindir.
“Kalau semua dibuat lift, lama-lama mendaki Gunung Agung pun dibuatkan lift. Di mana letak orisinalitas Bali?”
Komentar itu langsung jadi bahan diskusi panas di media sosial.
Baca juga: Alih Fungsi Lahan, Bali Bayar Mahal dengan Banjir
Di satu sisi, pariwisata Bali butuh inovasi. Tapi di sisi lain, tekanan komersialisasi bisa menggerus lanskap alam dan budaya yang jadi jantung Bali. Kasus ini bikin banyak orang nanya. Pariwisata harus berkembang atau dilestarikan? Atau bisa dua-duanya dengan perencanaan yang matang dan penuh tanggung jawab?
Bali Tidak Dijual Murah
Pemerintah Bali dan Pemkab Klungkung sedang menelusuri siapa yang memberi izin awal. Sementara itu, investor diminta membongkar struktur dalam waktu yang ditentukan.
Kalau lewat tenggat waktu, proyek pembongkaran bakal dilelang, tanpa memakai anggaran pemerintah.
Baca juga: Bali di Masa Depan, Jadi Wisata Berkelanjutan atau Tumbang karena Overtourism?
Keputusan ini bisa jadi preseden penting untuk seluruh Indonesia bahwa pembangunan wisata tak bisa seenaknya, meski ada modal besar di belakangnya.
Karena satu hal jelas: Bali tidak dijual murah. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.