
SETELAH sempat vakum, Net Zero Asset Managers Initiative (NZAM) akhirnya aktif lagi. Tapi kebangkitannya justru bikin banyak pihak bertanya: masih sekuat dulu komitmennya, atau sudah mulai longgar?
NZAM berdiri tahun 2020 sebagai koalisi manajer aset global yang mengelola investasi hijau bernilai raksasa. Awalnya, hanya 30 manajer aset dengan total dana sekitar USD 9 triliun. Dalam empat tahun, jumlah itu melonjak pesat menjadi 325 lebih penandatangan, dengan total aset kelolaan menembus USD 57 triliun.
Semua bergabung karena satu tujuan: menekan emisi karbon dan mencapai target net zero pada tahun 2050. Tapi di 2025, arah itu berubah. Menurut laporan ESG Today, NZAM kini menghapus klausul wajib investasi sejalan dengan target nol emisi 2050. Artinya, anggota boleh menentukan target masing-masing, lebih fleksibel, tapi juga lebih longgar.
Efek Tekanan Politik
Perubahan ini tidak lepas dari tekanan politik global, terutama dari Amerika Serikat. Gerakan anti-ESG yang makin keras, ditambah kemenangan Donald Trump di pilpres AS, membuat banyak lembaga keuangan berhitung ulang.
Baca juga: NZBA Bubar, Nasib Komitmen Net-Zero Perbankan Dipertanyakan
Beberapa bahkan mundur total. Saudara kembar NZAM, Net-Zero Banking Alliance (NZBA), bubar karena tekanan serupa. Sementara NZAM memilih bertahan dengan kompromi, menghapus target 2050, tapi tetap berbicara soal risiko dan peluang iklim.

Antara Realita dan Retorika
Meski melemah dalam komitmen, NZAM tetap menyebut peluang ekonomi hijau masih besar. Transisi menuju ekonomi rendah karbon diperkirakan bisa menciptakan peluang bisnis senilai USD 60 triliun hingga 2050. Namun di sisi lain, risiko ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai USD 25 triliun.
Baca juga: Super-Taxonomy, Bahasa Baru Keuangan Hijau dari Brasil ke Indonesia
NZAM akan kembali mempublikasikan daftar anggotanya pada Januari 2026, sinyal bahwa meski berubah arah, mereka belum menyerah sepenuhnya pada agenda iklim.
Apa Artinya Buat Kita?
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, langkah NZAM ini perlu dicermati. Pendanaan transisi energi dan proyek hijau kita banyak bergantung pada komitmen global seperti ini. Jika lembaga besar mulai longgar, beban adaptasi bisa makin berat.
Namun di sisi lain, fleksibilitas baru ini bisa membuka ruang bagi pendekatan lokal yang lebih realistis, dengan tetap menjaga arah menuju ekonomi hijau tanpa tekanan standar global yang terlalu kaku. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.