
Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *
SERUAN agar koruptor dihukum mati semakin nyaring terdengar di media sosial. Banyak yang membandingkan Indonesia dengan China, di mana eksekusi mati bagi koruptor dianggap sebagai solusi ampuh menciptakan efek jera. Namun, ada realitas yang menyesakkan: hukuman mati di Indonesia lebih sering menjadi vonis di atas kertas tanpa kepastian eksekusi.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mencatat ada sekitar 300 terpidana mati di Indonesia yang belum dieksekusi. Mayoritas adalah warga negara asing (WNA) dalam kasus narkotika. Tantangan hubungan diplomatik dengan negara asal sering kali menjadi alasan eksekusi tak kunjung dilakukan.
Namun, bagaimana dengan terpidana mati non-WNA? Mengapa eksekusi mereka pun tertunda? Apakah faktor lain yang membuat hukuman mati di Indonesia seperti macet di tengah jalan?
Hukuman Mati, Ultimum Remedium di KUHP Baru
Persoalan ini semakin kompleks dengan berlakunya KUHP baru pada 2026. Prof. Asep Nana Mulyana dari Kemenkumham menjelaskan bahwa pidana mati kini bersifat ultimum remedium, atau pilihan terakhir. Ada opsi masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk menunjukkan perbaikan diri. Jika berhasil, hukuman dapat dikonversi menjadi penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun.
Baca juga: Bencana Ekologis Jabodetabek, Mengapa Pejabat Tak Pernah Dipidana?
Pendekatan ini mengindikasikan bahwa pidana mati lebih bersifat simbolis daripada hukuman yang benar-benar dijalankan. Dengan sistem yang demikian, muncul pertanyaan besar: Jika hukuman mati sulit dieksekusi, mengapa masih dijatuhkan?
Terpidana Mati yang Dibiarkan Menunggu
Indonesia terakhir kali mengeksekusi terpidana mati pada 29 Juli 2016. Sejak itu, hukuman mati lebih sering menjadi ancaman ketimbang realitas hukum. Para terpidana mati berada dalam kondisi tanpa kepastian hukum yang jelas. Dari perspektif HAM, kondisi ini justru bisa dianggap sebagai bentuk penyiksaan psikologis. Mereka tidak hanya menerima vonis mati, tetapi juga hidup dalam ketidakpastian yang berkepanjangan.
Baca juga: Salah Gusur di Bekasi, Potret Buram Hukum Agraria RI
Kondisi ini semakin memperumit perdebatan mengenai efektivitas hukuman mati. Jika tujuan utama hukuman ini adalah menciptakan efek jera, apakah masih relevan jika dalam praktiknya justru menimbulkan penderitaan yang tak menentu bagi terpidana tanpa kepastian eksekusi?

Hukuman Mati dan Tantangan Eksekusi
Hukuman mati di Indonesia bukan hanya soal vonis, tetapi juga soal keberanian mengeksekusi. Faktor lain yang sering menjadi hambatan adalah perdebatan etika dan politik terkait pidana mati. Tekanan internasional terhadap negara yang masih menerapkan eksekusi mati juga semakin besar. Banyak organisasi HAM global, termasuk Amnesty International, terus menyerukan penghapusan hukuman ini karena dianggap tidak manusiawi.
Baca juga: Korupsi BBM Rp 193,7 Triliun: Saat Hukum Diuji, Rakyat Dikhianati
Selain itu, eksekusi mati juga membutuhkan persiapan teknis dan administratif yang kompleks. Mulai dari kesiapan jaksa eksekutor, persetujuan politik, hingga tekanan dari berbagai pihak yang menentang hukuman ini. Akibatnya, banyak vonis mati yang akhirnya hanya menjadi simbol tanpa implementasi nyata.
Jika Tak Bisa Mengeksekusi Saatnya Mengevaluasi
Melihat tren yang ada, eksekusi mati di Indonesia tampaknya akan semakin jarang terjadi. Dengan tantangan hukum, diplomasi, serta pendekatan baru dalam KUHP, pidana mati perlahan kehilangan efektivitasnya. Jika memang eksekusi sulit dilakukan, mungkin sudah waktunya mengevaluasi kembali relevansi hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia.
Apakah Indonesia masih perlu mempertahankan pidana mati jika eksekusinya tidak dapat dijalankan? Ataukah lebih baik mencari alternatif hukuman yang lebih realistis dan berdaya guna dalam menegakkan keadilan? ***
- Jurnalis, pemerhati keadilan sosial, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.