
DI TENGAH upaya perbaikan layanan kesehatan nasional, muncul kesadaran baru bahwa penyembuhan bukan hanya soal obat dan alat medis. Lingkungan fisik, termasuk desain bangunan tempat pasien dirawat, turut memainkan peran besar.
Inilah celah yang membuka ruang kolaborasi antara dua profesi yang selama ini berjalan sendiri-sendiri: arsitek dan tenaga kesehatan.
Ruang yang Menyembuhkan Bukan Sekadar Estetik
Rumah sakit dan klinik bukan hanya fasilitas fungsional. Tetapi, juga merupakan ruang psikologis. Penelitian yang dimuat dalam Health Environments Research & Design Journal menunjukkan bahwa desain ruang rawat dapat menurunkan tingkat stres, mempercepat pemulihan, hingga mengurangi kebutuhan obat penenang.
“Sayangnya, banyak desain fasilitas kesehatan kita masih kaku dan steril, lebih fokus pada efisiensi alur medis daripada kenyamanan pasien,” ujar dr. Riani Handayani, spesialis penyakit jantung yang juga aktif di komunitas Kesehatan dan Arsitektur Indonesia.
Saatnya Duduk Bersama, Arsitek dan Tenaga Medis
Kolaborasi lintas profesi bisa menjadi kunci transformasi ini. Arsitek membawa perspektif spatial, kenyamanan termal, pencahayaan alami, dan psikologi ruang. Sementara tenaga kesehatan membawa pengetahuan akan kebutuhan pasien, workflow medis, dan aspek keamanan klinis.
Baca juga: Manfaat Psikologis dan Kesehatan dari Hunian Berbasis Kayu
Contoh sukses datang dari Jepang dan Skandinavia. Di kedua kawasan ini, arsitek terlibat sejak tahap awal perencanaan rumah sakit, bersama perawat, dokter, dan bahkan pasien. Hasilnya adalah ruang-ruang yang tidak hanya efisien, tapi juga penuh empati.

“Kami pernah menangani desain ruang rehabilitasi untuk pasien stroke. Dengan masukan dari terapis dan dokter, kami bisa menciptakan koridor latihan dengan pencahayaan alami dan tekstur lantai yang mendukung terapi,” cerita seorang arsitek yang terlibat dalam proyek klinik rehabilitasi di Bandung.
Regulasi Bisa Menjadi Pendorong
Di Indonesia, belum banyak proyek kesehatan yang mewajibkan kolaborasi antar disiplin dari awal. Seringkali arsitek datang setelah blueprint medis selesai dibuat. Padahal, keterlibatan lebih awal akan menghasilkan desain yang lebih adaptif dan menyeluruh.
“Kami mendorong agar Kementerian Kesehatan dan Kementerian PU menyusun panduan yang mewajibkan keterlibatan arsitek dalam desain ruang rawat yang humanis,” ungkap F Nurdiansyah dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Baca juga: Saat Kayu Jadi Masa Depan Arsitektur Ramah Lingkungan
Selain itu, insentif untuk proyek yang mengadopsi prinsip healing environment—misalnya melalui sertifikasi hijau atau penghargaan desain ramah pasien—juga bisa mendorong kolaborasi ini berkembang.
Menuju Ekosistem Desain Kesehatan yang Holistik
Kolaborasi arsitek dan tenaga kesehatan bukan sekadar soal estetik. Ini adalah bagian dari reformasi sistem layanan kesehatan secara menyeluruh. Dengan pendekatan desain berbasis empati dan data medis, rumah sakit dan klinik bisa berubah dari tempat penuh kecemasan menjadi ruang yang mendukung proses penyembuhan.
Ke depan, pelatihan bersama, forum multidisiplin, hingga proyek-proyek percontohan bisa menjadi jalan menuju ekosistem desain kesehatan yang lebih baik di Indonesia.
“Kita tidak lagi bicara ruang yang hanya baik untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa dan relasi manusia di dalamnya,” tutup dr. Riani. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.