Perampok Berkelit Jadi Pencuri: Pelajaran Hukum dari The Diamond Heist

Millennium Dome, London, Inggris, lokasi perampokan berlian senilai Rp7 triliun yang gagal pada tahun 2000. Kisah yang menimbulkan kontroversi hukum antara perampokan dan pencurian ini, kini diangkat dalam dokumenter The Diamond Heist di Netflix. Foto: Jamesjin/ Wikipedia.

Oleh: Hamdani S Rukiah, SH, MH *

KISAH perampokan gagal di Millennium Dome pada tahun 2000 yang kini terungkap dalam dokumenter The Diamond Heist di Netflix menyimpan pelajaran menarik mengenai penerapan hukum pidana. Lee Wenham, yang didapuk sebagai otak dari perampokan bernilai Rp7 triliun, dihukum hanya empat tahun penjara atas tuduhan konspirasi untuk mencuri, meskipun ia merupakan dalang dari sebuah aksi perampokan yang melibatkan kekerasan.

Sebaliknya, anggota lainnya, yang merupakan eksekutor lapangan, dijatuhi hukuman lebih berat. Apa yang membedakan mereka? Apa yang menjadi dasar hukumnya?

Kajian dari Perspektif Hukum Indonesia: Perampokan vs. Pencurian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, perampokan dan pencurian adalah dua tindakan yang memiliki perbedaan mendasar, baik dari segi elemen tindakan maupun sanksi yang diterima oleh pelaku.

Perampokan (Pasal 365 KUHP)
Perampokan adalah pencurian yang disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang lain. Ini tercermin dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP yang menyatakan: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan kekerasan terhadap orang atau ancaman kekerasan, mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”

Dalam kasus The Diamond Heist, meskipun tidak ada kontak fisik langsung dengan korban, perencanaan perampokan ini jelas melibatkan ancaman kekerasan. Para pelaku menggunakan eskavator untuk merusak penghalang keamanan dan hampir melibatkan kekerasan terhadap petugas atau pihak yang berada di lokasi. Hal ini tetap memenuhi unsur kekerasan atau ancaman yang merupakan karakteristik dari perampokan menurut hukum Indonesia.

Baca juga: Netflix Bongkar Perampokan Rp7 Triliun yang Gagal di London

Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Pencurian, di sisi lain, lebih sederhana dan tidak melibatkan kekerasan. Berdasarkan Pasal 362 KUHP: “Barang siapa mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk memiliki barang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Lee dan gengnya berusaha mengalihkan fokus dengan mengklaim bahwa mereka hanya melakukan pencurian, bukan perampokan. Mereka merencanakan untuk mengambil berlian dengan cara merusak penghalang fisik tanpa harus berhubungan langsung dengan orang yang memiliki barang tersebut. Namun, keberadaan kekerasan potensial dalam rencana mereka seharusnya membuatnya tetap masuk dalam kategori perampokan, meski mereka mengklaim itu hanya pencurian.

Mengapa Lee Mendapat Vonis Ringan?

Lee Wenham dijatuhi hukuman ringan karena pembelaannya yang mengklaim bahwa tindakannya lebih mirip pencurian daripada perampokan. Ini memunculkan pertanyaan besar dalam perspektif hukum: apakah memang hanya karena tidak ada kontak langsung dengan korban, seseorang bisa terhindar dari hukum yang lebih berat?

Para eksekutor perampokan, seperti Raymond Betson, William Cockram, dan Aldo Ciarrocchi, menerima hukuman yang jauh lebih berat, yakni 15 hingga 18 tahun penjara, karena mereka lebih terlibat langsung dalam aksi kekerasan atau ancaman kekerasan. Kevin Meredith, yang terlibat dalam konspirasi untuk merampok, bahkan hanya dihukum lima tahun karena akhirnya terbukti hanya berkonspirasi untuk mencuri, bukan merampok.

Hal ini mencerminkan bagaimana hukum pidana membedakan perampokan dan pencurian dalam konteks sanksi yang diberikan. Dalam banyak kasus, keterlibatan langsung dalam tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan berpengaruh pada beratnya hukuman.

Apa yang Menjustifikasi Tindakan Melawan Hukum?

Perampokan dan pencurian sama-sama melanggar hak milik, namun perbedaan yang paling mencolok terletak pada kekerasan. Dalam kasus ini, meski para perampok berkelit dengan menyatakan itu hanya pencurian, kenyataannya aksi mereka dirancang dengan niat untuk menggunakan kekerasan dan merusak properti dengan cara yang sangat berbahaya.

Penggunaan eskavator, meski tidak termasuk senjata api atau senjata tajam, tetap dapat dianggap sebagai alat yang mengancam keselamatan orang dan merusak properti. Oleh karena itu, tindakan mereka tetap bisa dikategorikan sebagai perampokan dalam hukum Indonesia.

Untuk perampokan dianggap sah dalam pengadilan, harus ada bukti adanya ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan yang jelas. Pada akhirnya, apakah Lee dan gengnya benar-benar bertindak sebagai perampok atau hanya pencuri bergantung pada interpretasi dari tindakan mereka dan bagaimana hukum menanggapi rencana mereka yang hampir berhasil. ***

  • Jurnalis, Pemerhati Keadilan Sosial, Hukum Bisnis, dan Hukum Lingkungan

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *