
KINI, mesin bisa menulis puisi, meniru suara, membuat wajah, bahkan menyalin emosi.
Kita hidup di masa di mana realitas bisa diciptakan ulang. Cepat, halus, dan nyaris sempurna.
Namun di balik semua keajaiban itu, ada sisi gelap yang tumbuh bersama kecerdasan buatan, kebohongan yang juga makin cerdas.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap, lebih dari 70.000 laporan penipuan berbasis AI masuk dari masyarakat.
Modusnya makin menakutkan. suara orang tua yang minta tolong, wajah teman lama yang muncul di panggilan video, hingga pesan personal dari “anak” yang ternyata deepfake.
FBI dan Interpol pun mengingatkan, kejahatan kini tak perlu senjata, cukup algoritma.
Dunia yang Pintar, tapi Tak Lagi Bijak
AI memang cerdas, tapi tidak punya hati.
Ia bisa menciptakan gambar yang indah, tapi tak tahu apa itu keindahan.
Ia bisa meniru suara penuh kasih, tapi tak pernah mencintai.
Baca juga: Aksara: Kapan Terakhir Kali Kamu Membaca Buku?
Masalahnya bukan pada teknologinya, tapi pada manusianya.
Kita membangun mesin yang berpikir cepat, lalu kita sendiri berhenti berpikir.
Kita menulis kode untuk membuat keputusan, tapi lupa belajar membuat kebijaksanaan.
Dan ironinya, semakin banyak kita menyerahkan urusan pada mesin, semakin tipis garis yang memisahkan antara kenyataan dan ilusi.
Ketika Imajinasi Dicuri
Dulu, imajinasi adalah kekuatan manusia.
Kini, algoritma bisa melahirkan ide, lagu, bahkan lukisan dalam hitungan detik.
Kita bangga karena cepat, tapi kehilangan makna karena tak lagi terlibat dalam prosesnya.
Baca juga: Aksara: Generasi Delapan Detik
AI tidak mencuri kreativitas kita.
Kitalah yang menyerahkannya, demi efisiensi dan kecepatan.
Sampai suatu hari nanti, kita mungkin hanya menjadi penonton di dunia yang kita ciptakan sendiri.
Kembali ke Hati
Teknologi tidak jahat, tapi netral.
Yang berbahaya adalah ketika manusia berhenti menimbang benar dan salah, hanya karena semuanya tampak pintar.
Baca juga: Aksara: Bacalah, Sebelum Otakmu Dicetak Algoritma
AI bisa meniru wajah, tapi tidak bisa meniru nurani.
Ia bisa berbicara, tapi tidak bisa menyesal.
Dan mungkin, di situlah keunggulan terakhir manusia. Kemampuan untuk merasa, bukan sekadar memproses.
Karena dunia boleh makin cerdas, tapi tanpa hati, kecerdasan hanyalah cara baru untuk tersesat.
Di dunia yang makin pintar karena mesin, membaca mungkin satu-satunya cara agar kita tetap manusia dan tidak celaka oleh kecerdasan buatan manusia sendiri. ***

Catatan Redaksi
- Aksara adalah rubrik khusus mulamula.id yang hadir setiap akhir pekan untuk menggugah publik agar kembali ke khitah ilmu: membaca, memahami, dan berpikir. Lewat tulisan reflektif, satir, hingga inspiratif, Aksara mengingatkan bahwa peradaban besar tidak lahir dari kecepatan scroll, tapi dari halaman yang dibaca dengan sabar.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA