
Zaman Ketika Semua Orang Ingin Didengar
KITA hidup di masa ketika manusia tak lagi punya jeda.
Semua ingin bicara. Semua ingin didengarkan.
Semua ingin pendapatnya dihargai, dikutip, divalidasi.
Tetapi di balik hiruk-pikuk suara itu, ada kenyataan lain yang sunyi
hampir tak ada yang benar-benar mau mendengar.
Kita menunggu giliran berbicara, bukan menunggu titik pemahaman.
Kita membaca untuk membalas, bukan untuk mengerti.
Kita mendengar kata-kata orang lain sambil diam-diam menyusun jawaban di kepala.
Pada akhirnya, percakapan berubah menjadi dua monolog yang berjalan berdampingan.
Kita Hidup di Era “Reply”, Bukan Era “Understand”
Menurut Pew Research (2024),
hanya 29% orang yang benar-benar mendengarkan tanpa interupsi atau distraksi.
Sisanya
melihat layar, memikirkan respons, atau sekadar menunggu jeda untuk kembali berbicara.
Baca juga: Aksara: Hidup Tanpa Membaca, tapi Penuh Berdebat
Mendengar telah kehilangan maknanya.
Mendengar bukan lagi “proses memahami”,
melainkan sekadar “tahap menunggu sebelum bicara”.
Era digital memperparah itu.
Di kolom komentar, tak ada yang ingin tahu argumen lawannya.
Semua ingin menang, bukan mengerti.
Semua ingin membuktikan, bukan mempelajari.
Dan ironisnya, dalam dunia yang penuh suara,
kebenaran sering tenggelam di antara mereka yang paling keras.
Ketika Mendengar Menjadi Keterampilan Langka
Padahal, mendengar adalah bagian paling mendasar dari kecerdasan manusia.
Mendengar menentukan apakah kita belajar, berubah, atau hanya berputar-putar di tempat.
UNESCO (2024) menemukan bahwa:
- Mendengar dengan penuh perhatian
meningkatkan kemampuan memahami hingga 2,5 kali lipat. - Orang yang melatih deep listening
memiliki empati lebih tinggi dan bias lebih rendah.
Namun di masyarakat yang kelelahan informasi,
fokus dianggap boros, dan kesunyian dianggap membosankan.
Baca juga: Aksara: Kita Sibuk Melakukan Segalanya, Kecuali Berpikir
Kita lebih siap berkomentar daripada mencerna.
Lebih siap menyanggah daripada mencari titik temu.
Lebih siap berbicara daripada membuka ruang untuk belajar.
Karena Mendengar Membutuhkan Kerendahan Hati
Mendengar adalah tindakan yang secara alami merendahkan posisi kita.
Mendengar mengharuskan kita menerima bahwa orang lain mungkin tahu sesuatu yang kita tidak tahu.
Bahwa perspektif kita mungkin tak lengkap.
Dan di zaman ego diperbesar algoritma,
kerendahan hati adalah komoditas paling langka.
Itulah sebabnya orang lebih memilih berbicara
karena berbicara memberi ilusi kekuatan,
sementara mendengar mengingatkan kita pada keterbatasan.
Tapi justru di situlah letak kemanusiaannya.
Kembali ke Seni Mendengar
Jika berbicara adalah seni mengungkapkan diri,
maka mendengar adalah seni memahami dunia.
Mendengar bukan sekadar diam.
Mendengar adalah sikap mental
yang mengatakan “Aku ingin mengerti sebelum menilai.”
Baca juga: Aksara: Dunia yang Mencari Kebenaran di Kolom Komentar
Dan membaca adalah bentuk paling hening dari mendengar
mendengar pikiran orang lain,
tanpa harus menginterupsi, berdebat, atau merebut panggung.
Mungkin itulah sebabnya membaca terasa sulit bagi banyak orang
sebab membaca menuntut kita untuk berhenti menjadi pusat dunia,
dan memberi ruang bagi perspektif lain masuk ke dalam diri.

Dalam dunia yang penuh suara,
mendengar adalah tindakan paling berani.
Dalam era komentar,
memahami adalah bentuk kecerdasan paling tinggi.
Dan dalam hidup yang penuh ego,
membaca adalah jalan pulang menuju kerendahan hati.
Salam literasi.
Catatan Redaksi
- Aksara adalah rubrik khusus mulamula.id yang hadir setiap akhir pekan untuk menggugah publik agar kembali ke khitah ilmu: membaca, memahami, dan berpikir. Lewat tulisan reflektif, satir, hingga inspiratif, Aksara mengingatkan bahwa peradaban besar tidak lahir dari kecepatan scroll, tapi dari halaman yang dibaca dengan sabar.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.
Dukung Jurnalisme Kami: https://saweria.co/PTMULAMULAMEDIA