Banjir Jabodetabek: Saat Kota Tak Lagi Ramah untuk Warganya

Kondisi banjir di kawasan Jalan Ahmad Yani, Bekasi, pada 4 Maret 2024, yang merendam jalan utama dan permukiman warga, melumpuhkan aktivitas sehari-hari. Foto: Instagram/ @tion_graph.

HUJAN deras mengguyur Jabodetabek dalam dua hari terakhir, membawa bencana yang sudah akrab bagi warganya: banjir. Ribuan warga terpaksa mengungsi, fasilitas umum lumpuh, dan aktivitas kota terganggu.

Sementara itu, peringatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengindikasikan bahwa puncak cuaca ekstrem masih akan berlangsung hingga 20 Maret.

Lebih dari Sekadar Cuaca Ekstrem

Fenomena ini bukan semata akibat hujan deras. Pakar perkotaan Yayat Supriatna menilai bahwa banjir Jakarta adalah buah dari ketidaksinkronan kebijakan dan lemahnya pengelolaan tata ruang. Ia menyoroti maraknya alih fungsi lahan hijau di kawasan Puncak Bogor dan Bekasi menjadi pemukiman serta area komersial. Hilangnya ruang resapan air membuat kapasitas sungai tak lagi mampu menahan luapan air hujan.

“Terjadinya banjir ini merupakan akibat konflik antara tata ruang untuk air dan tata ruang untuk manusia,” kata Yayat. Ia menegaskan, tanpa restorasi kawasan hijau di hulu, normalisasi sungai di Jakarta hanya akan menjadi solusi tambal sulam.

Baca juga: Kepala Daerah Jabodetabek Wajib Bereskan 5 Isu Lingkungan Ini

Modifikasi Cuaca, Upaya Darurat yang Tak Menyentuh Akar Masalah

Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berupaya mengurangi curah hujan dengan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di Jabodetabek mulai 4-8 Maret. Namun, Pengamat Tata Kota Nirwono Joga mengingatkan bahwa ini bukan solusi jangka panjang.

“Modifikasi cuaca hanya solusi sementara. Yang kita butuhkan adalah perbaikan sistem drainase, normalisasi sungai, dan penghijauan kembali daerah resapan air,” ujarnya.

Solusi Terintegrasi yang Masih Jauh dari Kenyataan

Baik Yayat maupun Nirwono menekankan bahwa solusi utama mengatasi banjir Jakarta adalah sinergi lintas wilayah dalam pengelolaan tata ruang dan air. Nirwono menyoroti pentingnya membangun waduk dan danau sebagai penampung air, memperluas ruang hijau, serta memperketat regulasi pembangunan di bantaran sungai.

Klik foto untuk melihat video pantauan udara @arryuban03 saat banjir mengepung Jakarta Timur pada 4 Maret 2025, memperlihatkan luasnya genangan yang melumpuhkan kawasan. Foto: tangkapan layar X/ @txtdrjkt.

Baca juga: Puncak Bogor Terancam Alih Fungsi Lahan dan Banjir

Selain itu, setiap rumah dan kawasan permukiman harus diwajibkan memiliki sumur resapan untuk mengurangi aliran air permukaan. Baca juga: Mangrove, Solusi Alami Hemat $855 Miliar untuk Banjir. Ia juga menekankan bahwa rehabilitasi saluran air yang terhubung ke danau atau waduk terdekat perlu dipercepat agar air hujan dapat mengalir dengan optimal.

Banjir Jakarta, Ujian atau Kegagalan?

Setiap tahun, Jakarta menghadapi tantangan yang sama. Namun, selama akar masalahnya tak diselesaikan, bencana ini akan terus berulang. Alih-alih bergantung pada solusi instan seperti modifikasi cuaca, kini saatnya pemerintah mengambil langkah strategis yang berkelanjutan.

Baca juga: Banjir Rob dan Krisis Air Tanah, Ancaman Ganda untuk Jakarta

Sinergi kebijakan, penegakan regulasi tata ruang, serta kesadaran akan pentingnya ruang hijau harus menjadi prioritas jika Jakarta ingin terbebas dari ancaman banjir tahunan. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *