AC, AI, dan Krisis Daya Menyergap Asia Tenggara

Marina Bay di Singapura bersinar terang di malam hari, simbol kemajuan dan tingginya konsumsi energi di kawasan Asia Tenggara. Foto: Amit/ Pexels.

PANAS makin ekstrem, dompet makin panas juga. Di Asia Tenggara, kebutuhan pendingin ruangan (AC) terus meroket, dan para ahli memperingatkan, kalau tren ini terus dibiarkan, kawasan ini bisa menghadapi krisis listrik besar-besaran.

Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol menyebut, permintaan listrik di Asia Tenggara bakal naik drastis, sekitar 300 gigawatt (GW) dalam 10 tahun ke depan. Angka itu setara gabungan kapasitas listrik Jepang dan Korea Selatan saat ini.

“AC adalah pendorong utama kenaikan permintaan listrik di Asia Tenggara,” ujar Birol dalam Singapore International Energy Week (SIEW) 2025.

Makin Sejuk, Makin Boros

Di Amerika dan Jepang, 9 dari 10 rumah sudah pakai AC. Tapi di Asia Tenggara baru sekitar 20%. Artinya, jutaan rumah tangga baru bakal segera menyalakan AC seiring naiknya suhu dan penghasilan.

Baca juga: Menuju 2050, Mampukah Indonesia Capai 100% Energi Terbarukan?

Masalahnya, kesejukan ini mahal. Sebagian besar listrik di kawasan masih bergantung pada batu bara dan gas. Di Indonesia, misalnya, 60% listrik masih dari PLTU batu bara. Jadi makin banyak AC menyala, makin tinggi pula emisi karbon yang keluar.

Selain itu, penggunaan AC biasanya melonjak di siang hari, bikin beban puncak (peak load) sistem listrik ikut naik. Tanpa pengelolaan energi yang cerdas, bukan cuma tagihan yang naik—risiko pemadaman juga ikut mengintai.

Desain Grafis: Daffa Attarikh/ MulaMula.
AI dan Data Center Turut Menyumbang Panas

Bukan cuma AC yang bikin konsumsi listrik melonjak. Pertumbuhan kecerdasan buatan (AI) dan data center ikut menambah tekanan pada sistem energi.

“AI butuh data center, dan data center butuh listrik. Tidak akan ada AI tanpa listrik,” kata Birol.

Baca juga: Jejak Karbon ChatGPT Setara 260 Penerbangan Tiap Bulan

Menurut laporan IEA, konsumsi listrik global untuk data center dan AI bisa naik tiga kali lipat pada 2030. Dan Asia Tenggara, dengan ekonomi digitalnya yang tumbuh cepat, akan jadi salah satu titik panas utama. Negara seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia kini sedang berlomba membangun pusat data besar-besaran.

Antara Hijau dan Realita

Untuk menjawab kebutuhan listrik yang melonjak, tiap negara ambil jalan sendiri. Vietnam dan Filipina menambah kapasitas energi surya dan angin. Indonesia masih menyeimbangkan gas dan batu bara. Thailand bahkan mulai melirik reaktor nuklir kecil (small modular reactors).

Baca juga: Listrik Hampir Merata, Masak Masih Asap

Tapi Birol mengingatkan, transisi energi bukan cuma soal sumber daya. “Kita perlu memastikan setiap kilowatt listrik digunakan secara bijak,” katanya.

Di tengah suhu yang makin panas dan konsumsi energi yang makin gila-gilaan, Asia Tenggara harus memilih. Tetap nyaman dengan risiko krisis, atau berani berinvestasi pada energi yang lebih bersih. ***

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *