
LANGKAH tegas datang dari Pulau Dewata. Pemerintah Provinsi Bali melarang produksi air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di bawah 1 liter. Aturan ini berlaku lewat Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025. Tujuannya jelas: mengurangi sampah plastik sekali pakai yang selama ini mencemari alam Bali.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyambut kebijakan itu dengan dukungan penuh. Dalam rapat koordinasi teknis SDM Lingkungan Hidup di Tangerang Selatan, ia menilai kebijakan Bali sangat strategis.
“Saya dukung penuh. Ini langkah serius menjaga kualitas lingkungan Bali yang jadi wajah utama pariwisata Indonesia,” katanya.
Mikroplastik, Musuh Tak Kasatmata
Di balik larangan itu, ada ancaman yang terus tumbuh: mikroplastik. Fragmen plastik mungil ini lahir dari degradasi sampah yang tidak terkelola. Ukurannya kecil, tapi dampaknya besar. Mikroplastik masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan minuman. Lebih buruk lagi, ia sering membawa logam berat yang berbahaya bagi kesehatan.
Baca juga: Dampak Plastik, Studi Ungkap Ratusan Ribu Kematian per Tahun
Data Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, pada 2024 Indonesia menghasilkan 33,7 juta ton sampah. Hampir 20 persen di antaranya adalah sampah plastik. Ini menjadikannya penyumbang kedua terbesar setelah sisa makanan.
Pariwisata Berkelanjutan Tak Bisa Jalan Bareng Plastik Sekali Pakai
Bali bukan hanya destinasi, tapi juga simbol pariwisata Indonesia. Namun, tumpukan sampah plastik di pesisir, sungai, dan tempat wisata mulai merusak citra itu.
Gubernur Wayan Koster menjelaskan, pelarangan AMDK kecil bukan untuk mematikan usaha, tapi mendorong transisi. “Silakan produksi, tapi jangan pakai plastik sekali pakai. Botol kaca bisa jadi solusi, seperti di Karangasem,” ujarnya.
Baca juga: Produsen Plastik Wajib Tanggung Jawab, Akhir Era Sampah Sekali Pakai?
Kebijakan ini memicu ruang dialog. Pemerintah Bali akan mengundang produsen AMDK, dari korporasi besar hingga pelaku UKM, guna mencari inovasi kemasan ramah lingkungan. Dari sini diharapkan lahir alternatif yang mampu menjaga kelangsungan bisnis sekaligus keberlanjutan lingkungan.

Labuan Bajo Sudah Mulai Duluan
Tak hanya Bali. Daerah lain mulai menempuh arah serupa. Di Labuan Bajo, pemerintah daerah telah lebih dulu melarang AMDK botol dan gelas plastik, terutama di kapal wisata, restoran, hingga kantor pemerintah.
Baca juga: Bali Wajibkan Tumbler Mulai 3 Februari 2025
Langkah ini disambut baik. Sebab, kawasan seperti Labuan Bajo sangat sensitif terhadap dampak sampah plastik—terutama terhadap ekosistem laut yang menopang kehidupan nelayan dan pariwisata bahari.
Menuju Kemasan Masa Depan
Transformasi menuju konsumsi ramah lingkungan memang tak mudah. Tapi jika tidak memulai sekarang, kerugian ekologis akan jauh lebih mahal. KLH sendiri terus mendorong industri untuk menciptakan desain kemasan berkelanjutan. Tak hanya sekadar mengganti plastik, tapi juga mengubah logika produksi dan distribusi.
Baca juga: Mikroplastik Bikin Panen Asia Anjlok, 400 Juta Orang Terancam Lapar
Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bergerak bersama. Perubahan tak bisa hanya datang dari regulasi. Dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa bumi tak bisa terus menanggung sampah dari gaya hidup praktis dan instan.
Langkah Bali memberi sinyal penting: keberlanjutan bukan slogan, tapi aksi. Dari sebotol air ukuran kecil, Bali menunjukkan bahwa solusi besar bisa dimulai dari keputusan kecil. Kini, tinggal menunggu: provinsi mana lagi yang berani menyusul?
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.