
BAYANGKAN hidup dengan label “terpidana mati” tapi tanpa tanggal pasti kapan hidupmu berakhir.
Itulah kenyataan bagi sekitar 500 narapidana di Indonesia yang masih menunggu eksekusi tanpa kejelasan hukum. Sebuah situasi yang, menurut pemerintah, sudah terlalu lama dibiarkan menggantung di antara keadilan dan kemanusiaan.
“Bisa dibayangkan orang terpidana mati yang tidak ada waktu kapan (eksekusinya). Ini penantian luar biasa dan menjadi suatu masalah besar,” kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum, Dhahana Putra, Jumat (31/10/2025).
RUU Baru, Aturan Lama yang Diperbaiki
Untuk menjawab kekosongan hukum itu, pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
RUU ini menegaskan bahwa eksekusi hukuman mati harus dilakukan maksimal 30 hari setelah keputusan pelaksanaan dijatuhkan. Tak lagi bisa ditunda tanpa batas.
Baca juga: Terpidana Mati Akhirnya Bebas Setelah 46 Tahun Dipenjara
Pelaksanaannya wajib dilakukan di tempat tertutup, di wilayah pembinaan napi, dan dengan pemberitahuan resmi ke keluarga, MA, Komnas HAM, serta kementerian terkait. Transparansi menjadi kata kunci.
RUU ini juga memberi ruang bagi presiden untuk mempertimbangkan perubahan hukuman. Jika dalam waktu 90 hari presiden tak memberikan keputusan, maka perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup dianggap disetujui secara hukum.
Era Baru Hukum dan Kemanusiaan
Reformasi ini datang di tengah transisi besar, yakni KUHP Nasional baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Di dalamnya, pidana mati tidak lagi disebut sebagai hukuman utama, melainkan hukuman alternatif yang hanya digunakan jika tidak ada jalan lain.
“Politik hukumnya jelas, pidana mati itu ultimum remedium, jalan paling akhir,” ujar Dhahana.
Baca juga: Apa Arti Hukuman Mati Jika Tak Bisa Dieksekusi?
Dengan perubahan ini, arah kebijakan hukum Indonesia perlahan bergeser. Dari logika balas dendam menuju pendekatan yang lebih manusiawi dan rasional.
Antara Keadilan dan Nurani
Isu hukuman mati selalu menempatkan negara di persimpangan sulit, antara menegakkan hukum atau menegakkan kemanusiaan.
RUU baru ini mungkin tak menghapus pidana mati sepenuhnya, tapi memberi ruang bagi refleksi, bahwa keadilan bukan sekadar soal membalas dosa, tapi juga memberi kesempatan untuk berubah.
Di balik jeruji dan waktu yang tak pasti, hukum kini tengah belajar satu hal penting, bahwa menegakkan keadilan tak selalu harus berarti mengakhiri hidup. ***
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel Mulamula.id dengan klik tautan ini.