Zohran Mamdani, dari Rapper ke Walikota Muslim Pertama New York

Zohran Mamdani mencatat sejarah dengan menjadi Muslim pertama yang terpilih sebagai Wali Kota New York City. Foto: ABC News.

NEW YORK – Kemenangan Zohran Mamdani dalam Pilkada New York menandai babak baru dalam sejarah Amerika Serikat. Aktivis progresif berdarah India itu menjadi Muslim pertama yang memimpin kota dengan populasi terbesar di AS.

Dengan sekitar 91% suara sudah masuk, data Associated Press menunjukkan Mamdani meraih 50,4% suara. Unggul jauh atas mantan Gubernur Andrew Cuomo (41,6%), kandidat Republik Curtis Sliwa (7,1%), dan inkumben Eric Adams (0,3%) yang terjerat kasus korupsi.

“New York Telah Melangkah ke Zaman Baru”

Di hadapan ribuan pendukung di Brooklyn, Mamdani berpidato dengan gaya khasnya yang puitis. Ia mengutip ucapan Perdana Menteri pertama India, Jawaharlal Nehru.

“Jarang terjadi dalam sejarah ketika kita melangkah dari yang lama ke yang baru, ketika sebuah zaman berakhir dan jiwa suatu bangsa yang lama tertekan akhirnya menemukan suaranya.”

“Malam ini, New York telah melakukan hal itu,” ujarnya disambut sorak riuh.

Dari Kampala ke Kota yang Tak Pernah Tidur

Zohran lahir di Kampala, Uganda, pada 18 Oktober 1991. Ia dibesarkan dalam keluarga akademisi dan seniman. Ayahnya, Mahmood Mamdani, profesor antropologi di Columbia University, dikenal karena kajiannya tentang kolonialisme dan dekolonisasi. Ibunya, Mira Nair, adalah sutradara film kenamaan India seperti Salaam Bombay! dan Mississippi Masala.

Saat berusia tujuh tahun, Mamdani pindah ke New York. Ia menempuh studi Africana di Bowdoin College, Maine, dan sempat menekuni dunia musik rap sebelum terjun ke politik. Ia baru menjadi warga negara AS pada 2018. Dua tahun kemudian, karier politiknya melesat ketika terpilih sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York mewakili Queens.

Menjanjikan “Kota yang Bisa Ditinggali”

Ketika mencalonkan diri sebagai walikota pada 2024, Mamdani membawa semangat perubahan.

“Semua politisi bilang New York adalah kota terhebat di dunia. Tapi apa gunanya jika tak ada yang mampu tinggal di sini?”

Janji kampanyenya sederhana tapi kuat, menurunkan biaya hidup kelas pekerja. Ia mengusulkan bus gratis, moratorium kenaikan biaya sewa apartemen, pendirian toko grosir publik, dan penitipan anak universal.

Strategi kampanyenya pun langsung ke jantung masyarakat. Door-to-door, block-to-block, dan masif di media sosial, gaya politik grassroots khas Gen Z.

Merajut Jembatan, Bukan Sekat

Pemilihan berlangsung di tengah meningkatnya isu antisemitisme dan Islamofobia. Mamdani menanggapinya dengan politik jembatan. Ia menggandeng Brad Lander, pejabat Yahudi progresif di City Hall, untuk membangun dialog lintas iman.

Materi kampanyenya diterjemahkan ke berbagai bahasa, menyasar komunitas minoritas dan imigran yang selama ini tak tersentuh politik arus utama.

Meskipun mendapat serangan tajam dari Presiden Donald Trump, yang menyebutnya “100% Communist Lunatic,” warga New York justru memberi dukungan lebih kuat. Mamdani menang telak, sebuah simbol perubahan politik dan sosial di jantung Amerika. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *